KISAH SEORANG PENJUDI

Pada umumnya judi, miras dan prostitusi adalah saudara sekandung. itu diperkotaan pada umumnya tapi di pedesaan sikit berbeda, miras dan prostitusi agak kurang, mungkin karna alasan-alasan kemasyarakatan atau aturan adat. dan bagi pak Joki cuma punya satu keahlian yaitu berjudi. Alasannya jelas dan tegas dia berkata “hanya orang bego yang main judi setengah mabuk”, soal prostitusi dia menyatakan “Pekerjaan gila, Gila itu, aku tidak suka!”

Mau main remi? joker karo? leng? ceki? domino? catur? pilih yang mana? terserah saja! pak Joki selalu sedia setia melayani asal ada bertaruh uang, seorang penjudi tulen dia pantang menolak tantangan orang buat berjudi. sehariannya dia berada diwarung itu dan kadangkala berh-hari dia tdk pulang kerumahnya.

Ingat sekali saya ketika masih SMA dulu, sepulang sekolah kadang mampir diwarung itu menonton mereka lagi bermain judi. yang saya kagumi pak joki yaitu kemampuan dia jentikkan jari di meja minta tambah kartu atau ceki, “Cletak…” bunyinya keras dan nyaring. saya coba meniru cara itu ke dinding aduuh ujung jariku sakitnya minta ampun.

Tibalah ketika Pak joki sakit, demam panas tinggi dia terkulai lemas berhari hari ditempat tidur, sakitnya mungkin sangat parah. sering dia menggigau serta sering tak sadarkan diri. dalam keadaan tidak sadar tersebut dia kerap menjentikkan jarinya disembarang tempat, ditempat tidur, dilantai, didindig seolah-olah lagi sedang berjudi. bunyinya tetap mantaaf, jelas sekali seperti lagi ceki atau minta tambahan kartu!

Usia manusia tidaklah ada yang tahu, dari penyakit diderita oleh pak joki membawa dia menyeberang ke alam berikutnya. dan belakangan saya mengetahui sebenarnya dia dapat malaria.

Sekarang ini anak satu-satunya pak joki yang masih balita kala dia meninggal sudah meningkat dewasa. bertubuh tinggi semampai, kulit kuning bersih, rambut dan alis tebal hitam mengkilap, bersuara bening dan sangat cantik, baik dan sopan serta taat beribadah. Pemuda sedesa dan sekeliang desa itu pada suka padanya. Ia bernama yang indah; “Nur Remi“, pemberian mendiang ayahnya. Semoga Nur Remi tidak akan pernah tahu kisah ‘nama’ itu, dan ia tetap setia mendoakan arwah almarhum ayahnya